Rabu, 02 Juli 2014

7/9 Hari Berlalu





Dag ! Dig ! Dug !
            Terdengar tidak karuan suara jantungku. Angin sepoy-sepoy, matahari siang tak terlalu terik, terhalangi pohon-pohon besar. Suara daun bergesekan tertiup angin, suasana sekolah hari itu tenang, tak ada kebisingan.
            Aku menunggu Mira. Kau ingat ? hari ini adalah harinya, untuk kedua kalinya aku jalan dengan Mira. Semoga saja dia datang, seperti keinginanku.
            Jam 10, Mira belum juga datang. Apa dia bangun telat ? atau ada kesibukan ?
            Ah bego, kenapa kau tak kerumahnya saja. Aku hendak berdiri.
            ‘Memang kau tahu rumahnya ?’ pikirku, aku tak tahu rumahnya dimana, aku tanya Glen ? ah, tidak. Aku putuskan untuk menunggu saja disini, di depan taman sekolah. Kuharap sebentar lagi dia akan datang. ‘Aku sms saja Mira’, tunggu, aku juga tak punya nomor Mira, ‘nomornya pasti sudah ganti’ apa Glen punya ?.
            Segera aku sms Glen, meminta nomor telepon Mira. ‘Ya punya, ini...’ ah syukurlah Glen punya nomornya.
            ‘Mi, dimana ? jadi kan ?’ kataku, agak sedikit gugup ketika aku mengetik. Dadaku berdetak, tanganku bergetar.
            Handphoneku juga bergetar, kukira karena tanganku. ‘Iya, masih beres-beres, maaf ya lama’ begitu isi sms dari Mira. Kau tahu ? aku sangat senang menerimanya, membacanya.
            Aku tak membalasnya, aku agak sedikit jual mahal. Aku hanya tak mau dia terganggu, dia sedang agak sibuk.
            Mira. Kupikir lagi, ternyata dia mau jalan lagi. Kukira dia takkan mau aku ajak, tak akan menerimanya. Senang rasanya, tersenyum, tertawa, menertawakan tingkahku sekarang. Konyol sekali pikirku, terlalu menggila dengan semua ini, mukaku pasti merah.
            Mira, mira. Kau sukses membuatku tersenyum, membuatku bahagia. Membuatku tak ingin lepas dari dirimu. Andai saja waktu itu tak terjadi kejadian itu, mungkin kurasa kita sedang bahagia saja sekarang. Bukan pacaran maksudku, aku pernah berkata seperti ini padanya ‘Mi, kakak gak bakalan suka sama pacar Mira setelah ini. Tanpa terkecuali kakak’ konyol setelah kupikir, memang aku ini siapanya dia ? aku terlalu naif, terlalu... ah sudahlah.
            Pernah juga aku berkata ‘entah kenapa, kalau marah kakak pasti nyebutnya aku kamu’ bingung juga, kenapa seperti itu, aku tak tahu.
            Tapi itu hanya tinggal kenangan.
            Dag ! Dig ! Dug !
            Aku semakin cemas dengan dadaku, terlalu keras berdetak. Apa tidak akan pecah jantungku ?
            Dag ! Dig ! Dug !
            Semakin menjadi, sudah sudah, hentikan.
            Dag ! Dig ! Dug !
            Semakin keras saja, tak terhentikan. Jantungku berdegup kencang, tubuh bergetar hebat, akankah aku ulangi merusak harinya. Oh Tuhan, untuk kali ini, tolong lancarkah hariku bersamanya, jangan biarkan aku merusak harinya, aku tak mau mengulangnya lagi.
            Aku rasa kata-kataku seperti lirik hari bersamanya laguya sheila on 7. Ya, itulah yang sedang kudengarkan. Aku mendengar pak satpam menutar lagu itu, sepertinya dari TV.
            Jam sudah menunjukkan pukul 11. Kenapa mira belum juga datang ? apa terjadi sesuatu dengannya ?.
            Tunggu, aku tidak boleh berpikir negatif lagi, mungkin dia masih di rumahnya. Pasti masih  mandi, cewek memang lama kalau mandi. Pernah aku menunggu temanku, 1 jam dia belum juga keluar. ‘Harus bersih banget’ katanya, tapi ada yang lebih parah dari itu. Aku menunggu sms dari temanku ‘aku mandi dulu’ katanya, 2 jam kemudian dia baru selesai. Kau tahu apa yang dia bilang ? ‘maaf ya ketiduran’ aku berpikir, dia kan sedang mandi apa bisa ketiduran ? aku tanya, ‘memangnya kau tidur di kamar mandi ?’ dan dia membalas ‘iya, nyaman soalnya’. Konyol sekali, tidur di kamar mandi.
            Tapi sudahlah, gadis yang kutunggu dari tadi. Senyumnya mengarah padaku, berjalan dari gerbang sekolah, menuju ke arahku. Kerudung ungu, baju biri lengan panjang, dan celana jeans biru. Itulah kesukaanku, wana biru. Terihat cantik sekali, berkali-kali aku melihatnya memakai baju itu beberapa bulan ini. Tapi beda rasanya jika dia berpakaian seperti itu saat akan pergi bersamaku. Biru ? itulah warna kesukaanku, mungkin kesukaannya juga, dan Mira, adalah orang yang kusuka, sehingga tak ada yang tidak kusukai darinya.
            “Maaf ya lama, bantu ibu dulu” katanya setiba di depanku
            Aku berdiri, aku masih terdiam memperhatikan siapa yang berada di depanku ini
            “Iya Mi tidak apa apa” balasku, juga senyuman yang kubalas
            Terdengar kumandang adzan dari berbagai mesjid. Bahkan disekolahku juga.
            “Sholat aja dulu” kataku
            “Yaudah, sholat aja dulu yu ?” ajaknya
            Sial ! senyumannya sungguh membuatku tak bisa bergerak, tak ada kata yang mau keluar, padahal ingin sekali aku membalasnya.
            Kita berpisah di persimpangan jalan menuju mesjid. Tempat akhwat-wanita- dan ikhwan-laki-laki-terpisah.
***
            Cuaca masih cerah, kuharap akan terus seperti ini. Hatiku juga sedang enak, senang, kulihat Mira datang menghampiriku.
            “Sekarang ?” katanya “Kemana ?” lanjutnya
            “Eeeeh.... gatau” kataku agak gugup sembari menggaruk-garuk rambutku
            “Ih ! kirain udah direncanain” katanya, mungkin dia kesal, tapi dia tetap tersenyum
            Oh, indahnya hari ini.
            “Ke taman ? musik ?” kataku
            “Taman musik ?” katanya “oke”
            Tanpa pikir panjang, aku berikan helm pinjaman padanya. Warnanya biru, kunyalakan motorku. Asal kau tahu, sekarang aku sedang memakai kemeja kotak-kotak berwarna putih abu dan biru, celana jeans biru panjang. Motorku warnanya biru, helmku juga biru. Serba biru sekarang, tapi tidak dengan hatiku. Terimakasih bagi kalian yang telah mendoakanku.
            Kupacu kendaraanku ke arah Bandung, sambil kuajak Mira ngobrol, tertawa, dan hal lain. Aku tak berani menjalankan motor kencang jika bersamanya, aku takut dia jatuh. Pegangan ? aku tak berani memintanya, aku tahu dia tak mungkin mau. Bukannya apa-apa, tapi dia selalu menjaga kesuciannya, tak mungkin dia berpegangan padaku meskipun hanya pada jaket saja kurasa tak mungkin.
***
1 jam berlalu, kita sudah sampai di taman musik.
            Agak ramai ternyata, tapi ada tempat untuk mengobrol berdua, agak jauh dari orang-orang. Kupersilahkan duduk setelah kubersihkan tempat duduknya, dia tersenyum ‘terimakasih’ katanya.
            Kutawarkan minum, ‘teh botol aja’ katanya. Cepat-cepat aku membelinya, untung saja tak jauh dari tempat duduk kita. Kubeli 2, karena aku juga suka dengan teh manis.
            “Manis ga tehnya ?” kubuka pembicaraan
            “Iya, tapi kakak suka ga ?” katanya
            “Agak gaterlalu sih, sukanya bikinan rumahan aja”
            “Oh, yaudah kapan-kapan Mira buatin”
            Deg !
            Aku tak percaya dia akan berkata seperti itu, kaget, senang, ah ....
            Dia tersenyum padaku, begitu juga aku membalasnya dengan senyuman setulus hati.
            “Terakhir kali kesini, masih dibangun” kataku setelah beberapa menit hening
            Kulihat air minumnya, dia meminumnya sedikit demi sedikit. Kurasa sengaja agar punya waktu lama denganku, mungkin itu juga.
            Masih saja berdetak kencang jantungku.
            “Oh, sama siapa kesini ?” tanyanya
            “Sama temen-temen” kataku “waktu ada LKBB disana”
            Aku menunjuk ke arah kanan, ada lapangan yang cukup untuk LKBB.
            “Oh” dia mengangguk, meminum kembali teh botolnya, sedikit
            “Kakak suka jazz, Mira ?” tanyaku
            “Pop, R&B” katanya “tapi lebih suka K-POP”
            “Kakak gasuka K-POP” kataku
            “Kenapa ?” tanya dia
            “Gasuka aja, liat cowok, dandannannya kaya cewek” kataku “meliuk-liuk, gak enak aja ngeliatnya”
            Dia tersenyum
            “Mira suka lagunya” katanya
            “Kalau lagunya sih, gak masalah” kataku
            “Iya, tapi...” dia mengerutkan dahinya “Mira suka penyanyinya juga” dia tersenyum kearahku, kemudian meminum lagi teh botolnya
            “Yasudah, kalau gak sama-sama suka gak usah di omongin” kataku
            “Iya.” Katanya
            Kemudian hening, dadaku berdetak kencang. Masih saja kencang. Baru kali ini-lagi-aku mengobrol dengan mira setelah berbulan-bulan lamanya.
            “Kak” katanya
            “Emh...” aku menoleh ke arahnya sambil meminum teh botol
            “Apa aja yang kakak tahu tentang Mira ?” katanya
            Deg !
            ‘uhuk..uhuukk’
            Sial ! aku tersedak, sakit tenggorokanku.
            “Pelan-pelang kak minumnya” katanya agak sedikit tertawa
            “Iya iya” kataku
            Kemudian hening lagi. Aku tak tahu harus jawab apa, aku tak banyak tahu tentang dia. Hanya sedikit.
            “Tak banyak” jawabku
            Aku memberitahukan hal-hal yang kutahu tentang dia, tentang siapa orang tuanya, pekerjaan orang tuanya, keadaan keluarganya. Bahkan kuberanikan diri untuk mengatakan kalau aku tahu siapa saja yang suka sama Mira.
            “Oh ya ?” tanyanya “siapa aja ?”
            Aku beritahu semuanya, dan kuberanikan diri juga menyebutkan siapa saja orang suka mengobrol dengannya sewaktu akan pulang di depan taman. Orang yang mengantarnya kesekolah, orang yang menjemputnya pulang, orang yang sering dia sms, dan hal lain yang ku ketahui.
            Sakit sih saat aku menyebutkan semua itu. Cemburu kurasa, tapi wajarkan jika aku seperti itu ?
            “Tau semuanya” katanya
            “Ngga semuanya” kataku
            Kemudian hening lagi.
            Aku meminum kembali teh botolku, begitu juga dengannya. 5 menit hening. Suasana dingin, meskipun banyak kendaraan lalu-lalang, banyak orang disini, suara pantulan bola basket, suara pengamen yang mendendangkan lagu ‘kisah cintaku’ semua terasa dingin, sungguh tak enak ada di posisi ini, serba salah kurasa.
            “Jadi maksud kakak minta Mira jalan sama kakak ?” tanyanya
            Agak kaget juga, aku tengah tak sadarka diri tadi. Terlalu terbawa suasana.
            “...... emmmh....” kataku gugup, sambil menggaruk kepala
            “Apa ?” katanya
            “Bisakah kita seperti dulu ?” tanyaku memberanikan diri
            Dia menunduk, entah apa yang dipikirkannya. Kejadian waktu dulu ? atau apa ? kuharap bukan kejadian waktu dulu.
            “Mira... mira gatau kak” katanya dengan nada rendah, lesu, masih menunduk
            Aku terdiam, menunduk, entah apa lagi yang harus kukatakan.
            Kurasa, memang tak ada harapan lagi untukku bersamanya. Tak ada lagi waktu untukku bersamanya, tak ada lagi yang tersisa. Semua kesenangan kian pudar, awan-awan kurasa mulai berkumpul di atas kepalaku. Semakin mendung, seperti suasana hatiku sekarang.
            “Semua yang Mira lakukan ada alasannya kak” katanya sambil melihat kearahku
            “Itu yang Mira pelajari dari kakak” katanya lagi “Mira tahu maksud kakak, mira sadar, tapi mira....” katanya, lalu menunduk
            Dia tampak sedih, aku benci itu, tidak, aku benci diriku yang telah membuatya seperti itu.
            “Ya, kurasa, terlalu dini untuk mengucap cinta. Terlalu dini untuk mengumbar sayang. Mungkin, memang tak ada harapan. Tak ada kepastian, tak ada harapan yang pasti, dan tak pasti ada harapan untukku” kataku “mungkin untuk kita” aku menatap lurus kedepan, aku tak mau melihat kesedihannya
            “Kakak jangan marah” katanya dengan nada memelas dia melihatku sepertinya
            “Kakak tidak marah, hanya, sedang menerima semua kenyataan” kataku dengan tatapan masih lurus kedepan
            Kulihat dia, termenung, tunduk, tak ada suara keluar dari mulutnya, tak ada bahasa yang keluar dari tubuhnya. Yang kurasakan  saat itu, hanya, dia sedang sedih-atau mungkin hanya perasaanku saja-dengan semua ini.
            Hening.
***
1 jam terdiam, minumannya sudah habis, dia menghabiskannya 3 menit yang lalu. Aku lapar.
            “Mi, makan yuk ?” kataku setelah sekian lama terdiam “udah itu pulang”
            Dia mengangguk.
            Kunyalakan mesin motor, kupacu menuju tempat makan kesukaannya.
            Dijalan, aku serasa tak bersamanya. Serasa sendiri, sekelilingku tak ada siapapun juga rasanya. Aku bingung, bimbang, kacau, entah apalagi yang harus kulakukan untuknya.
            Kita berhenti di sebuah tempat makan dekat taman musik, tempat makan kesukaannya, aku sangat ingat tentang makanan kesukaannya ini.
            Dia turun dari motor ketika sampai, dia masih tertunduk. Entah apa yang dia pikirkan, semoga saja bukanlah hal yang buruk.
            Kupesan 2 porsi, kita duduk berhadapan.
            Aku ingin sekali berkata ‘udah jangan murung’ tapi tak ada sisa keberanian di dalam diriku, semua sudah habis termakan kebingungan.
            Pesanan datang, kita masih saja terdiam, dia makan seperti tak bernafsu. Begitu juga denganku.
            Seperempat porsi kuhabiskan, dia baru 2 suapan. Setengah porsi kulahap, dia baru melahap 5 suapan.
            “Udah Mi, jangan murung” kataku
            Terlontar saja, aku sudah muak dengan keadaan itu. Aku tak mau melihatnya terus-terusan seperti itu.
            “Iya kak maaf, Mira hanya malu saja” katanya sambil masih tertunduk
            “Malu kenapa ?” tanyaku
            “Malu, kakak udah baik sama Mira, tapi Mira kaya gini. Mira jahat ya” katanya
            “Ngga kok, Mira orang yang baik. Bukankah Mira mengikuti kakak ?” kataku
            Dia tersenyum, kurasa itu hanya fake smile karena, 1 detik kemudian dia murung kembali.
            Aku bingung bagaimana harus membuatnya terhibur. Ada ide ? ayolah berikan aku ide.
            Makanan kita sudah habis, begitu juga dengan minumnya.
            “Pulang ?” tanyaku     
            Dia mengangguk
            Bingung masih melanda, aku tak tahu harus apalagi. Aku semakin bingun ketika jalannya semakin melambat. Aku kira dia benar-benar merasa tidak enak terhadapku.
            Aku memang tidak enak, aku seperti ditolak 2 kali, aku sungguh sakit hati, tapi aku tak terlalu memikirkan itu. Pikiranku sekarang hanya Mira, sesakit apa aku sekarang, aku tak peduli, aku hanya ingin tahu bagaimana menghibur Mira sekarang, aku berpikir keras.
***
Diperjalanan berbeda. Tadi siang, aku berangkat bersama Mira, tawa menyelimuti kita. Tapi sekarang, awan hitam menyelimuti kita. Gelap, tak ada cahaya, tak ada kesenangan.
            Ingin sekali aku membuka percakapan, tapi apa ? aku tak tahu, aku bingung.
            Kupacu kendaraan dengan perlahan, aku tak mau membuatnya takut dengan memacu cepat kendaraanku.
            Tuhan, kukira aku tak akan merusak harinya lagi. Tapi kenapa ? kenapa harus kuulangi merusak harinya ? apa aku salah ? apa aku memang seharusnya tak bersamanya ?. Kurasa, jawabannya, iya. Sungguh sedih aku memikirkan itu, aku harus meninggalkannya ? tak mengusiknya lagi ?. Ya.. itu adalah janjiku. Aku sudah bilang pada Glen ‘jika kali ini tidak berhasil, aku tak akan mengganggunya lagi’ waktu itu di depan ruangan 3.
            Ah sudahlah, pikirkan lagi bagaimana caranya menghibur Mira. Kubelikan es krim ? coklat ? atau apa ? apa saja pasti akan kubelikan.
            Tapi hanya khayal yang kudapat, tak ada ide keluar dari otakku. Ayolah, apa yang harus kulakukan ? menghiburnya dengan cara apa ?.
            Apa aku harus seperti boyband korea itu ? apa harus aku seperti itu ? aku memang ingin membuat Mira suka terhadapku, tapi tidak dengan seperti itu, aku tak sudi jika harus seperti mereka.
            Lantas, apa yang harus aku lakukan ? Mira, kau kenapa ? apa aku salah ? salah apa aku ?.
***
Tak terasa, aku sudah berada di depan gang rumahnya, Mira menunjukkan jalannya karena aku tak tahu rumah Mira.
            “Disini aja kak” pintanya, nadanya masih lemas
            Aku berhenti didepan gang agak sempit, sepi disini, tak ada orang. Kulihat jam, ‘sudah jam 5’ aku merasa tidak enak pada Mira.
            “Makasih ya Mi, udah memberikan kesempatan untuk ngobrol” kataku ketika dia turun dari motorku
            “Iya, maafin Mira ya kak. Mira sudah berbuat jahat” katanya
            Aku tak merasakan Mira itu jahat, tidak. Dia itu sangat baik, sangat baik.
            Mira berbalik, berjalan masuk ke gang.
            “Mira” kataku
            Aku lupa, aku ingin memberikan sebuah hadiah. Novel.
            “Iya kak ?” dia berbalik
            Aku membuka tas dan kubawa kado itu.
            “Ini untuk Mira” aku sodorkan kado itu padanya
            Dia berjalan mendekatiku
            “Selamat ulang tahun ya. Maaf telat” kataku sembari keberikan senyuman terbaikku. Aku memang telat memberikannya kado ulang tahun, ulang tahunnya 5-6 bulan yang lalu.
            “Makasih kak” dia tersenyum, ikhlaskah senyumannya ?
            Dia berlalu pergi, memasuki gang, dan berbolek ke kanan., dan tak kulihat lagi dia.
            Salahkah caraku ? salahkah tujuanku ? salahkah diriku yang ingin kembali bersama degan Mira ?. Aku terlalu naif, aku selalu memikirkan aku pasti bisa bersamanya lagi, tapi nihil yang ada.
            Aku harus mencoba menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa, aku tak mungkin bisa dengannya lagi. Bukan pacaran maksudku, tapi bisa berhubungan baik dengannya. Aku tak mau seperti ini, beberapa bulan ini aku merasa jauh darinya, merasa dia sudah tidak mengenalku lagi.
            Tapi, apa daya. Mungkin ini yang harus terjadi, ini sudah di atur oleh Tuhan. Aku harus ikhlas, aku harus menerima kenyataan ini. Aku tahu, selama ini dia pasti bahagia, tanpa aku, bersama dengan orang-orang disekitarnya. Ya, bukan aku yang membuatnya bahagia, tapi orang-orang disekitarnya, orang yang selalu mengirim sms padanya, orang yang selalu perhatian padanya.
            Aku benar-benar kalah, sungguh hari ini hari yang berharga, sekaligus hari yang sangat membuatku sedih. Kukira biru ini akan membuatku beruntung, tapi nyatanya hatikupun menjadi biru.
            Aku memacu pelan motorku, berpikir ‘bodoh kau nao, bodoh kah’ aku menyalahkan diriku, memaki diriku, menghina diriku.
            Sungguh kesal, kesal terhadap kenyataan ini, kesal terhadap diriku sendiri. Sakit rasanya, rasanya ingin kupacu kencang motorku, bagus jika aku mati hari ini, sehingga rasanya tak akan ada lagi.
            Plak !
            Kupukul helmku. Sadar kau ! sadar bajingan !
            Aku lebih memaki diriku ‘sadarlah, dia pasti tak ingin itu terjadi, dia pasti ingin kau bahagia juga tanpanya’ pikirku, kupelankan motorku. Kurasakan air mata keluar dari mataku, menangis ? ya, kurasa aku menangis. Sakit rasanya berada dalam posisi ini, ‘sudahlah, terima kenyataan ini’ pikirku. Terus saja aku mencoba memaki, menyadarkan diriku. Aku harus menerima kenyataan ini.
            Ya, aku harus menerima semuanya. Kuusap air mataku dengan telunjukku.
            ‘Tenang saja Nao, semua cintamu sudah kau curahkan dalam buku yang kau berikan padanya’ pikirku lagi. Ya, aku sudah melepas cintaku, aku harus merelakannya bersama orang lain.
            Aku coba tersenyum, membayangkan kebahagiaan Mira. ‘Kau akan mengetahui kau sangat mencintainya, ketika kau melepaskannya’ kupelajari itu, kurasakan memang benar seperti itulah. Kubiarkan dia pergi, aku mundur dari kehidupannya, kuharap kau bahagia Mira.
            ‘Sudah, bersabarlah. Berarti, rencanamu mengirim surat untuknya ? jadi ?” oh ya, surat itu harus tetap terkirim.

Sabtu, 21 Juni 2014

Take It !


4 hari sudah, neo yang senantiasa menjaga seorang gadis. Meskipun,gadis itu tak mungkin bisa mengenal neo. Meskipun begitu, neo tetap sajamenjaga gadis pujaan hatinya. Apa daya, neo hanyalah seekor nyamuk, dia tak punyakemampuan untuk menyatakan perasaannya pada gadis pujaan hatinya. Gadis ituadalah pemilik rumah, tempat sarang-sarang koloni bangsanya neo berada.

Kamis, 19 Juni 2014

6/9 Hari Berlalu





SUNGGUH kesal, menyebalkan. Glen menyukai Mira juga.
            “Ini tidak seperti yang kamu pikirin Nao” kata glen
            Aku duduk di sebelah kirinya, didepan ruangan 3, suasana masih sepi, disana hanya ada aku dan Glen saja.