Dag ! Dig ! Dug !
Terdengar tidak karuan suara
jantungku. Angin sepoy-sepoy, matahari siang tak terlalu terik, terhalangi
pohon-pohon besar. Suara daun bergesekan tertiup angin, suasana sekolah hari
itu tenang, tak ada kebisingan.
Aku menunggu Mira. Kau ingat ? hari
ini adalah harinya, untuk kedua kalinya aku jalan dengan Mira. Semoga saja dia
datang, seperti keinginanku.
Jam 10, Mira belum juga datang. Apa
dia bangun telat ? atau ada kesibukan ?
Ah bego, kenapa kau tak kerumahnya
saja. Aku hendak berdiri.
‘Memang kau tahu rumahnya ?’
pikirku, aku tak tahu rumahnya dimana, aku tanya Glen ? ah, tidak. Aku putuskan
untuk menunggu saja disini, di depan taman sekolah. Kuharap sebentar lagi dia
akan datang. ‘Aku sms saja Mira’, tunggu, aku juga tak punya nomor Mira,
‘nomornya pasti sudah ganti’ apa Glen punya ?.
Segera aku sms Glen, meminta nomor
telepon Mira. ‘Ya punya, ini...’ ah syukurlah Glen punya nomornya.
‘Mi, dimana ? jadi kan ?’ kataku,
agak sedikit gugup ketika aku mengetik. Dadaku berdetak, tanganku bergetar.
Handphoneku juga bergetar, kukira
karena tanganku. ‘Iya, masih beres-beres, maaf ya lama’ begitu isi sms dari
Mira. Kau tahu ? aku sangat senang menerimanya, membacanya.
Aku tak membalasnya, aku agak
sedikit jual mahal. Aku hanya tak mau dia terganggu, dia sedang agak sibuk.
Mira. Kupikir lagi, ternyata dia mau
jalan lagi. Kukira dia takkan mau aku ajak, tak akan menerimanya. Senang
rasanya, tersenyum, tertawa, menertawakan tingkahku sekarang. Konyol sekali
pikirku, terlalu menggila dengan semua ini, mukaku pasti merah.
Mira, mira. Kau sukses membuatku
tersenyum, membuatku bahagia. Membuatku tak ingin lepas dari dirimu. Andai saja
waktu itu tak terjadi kejadian itu, mungkin kurasa kita sedang bahagia saja
sekarang. Bukan pacaran maksudku, aku pernah berkata seperti ini padanya ‘Mi,
kakak gak bakalan suka sama pacar Mira setelah ini. Tanpa terkecuali kakak’
konyol setelah kupikir, memang aku ini siapanya dia ? aku terlalu naif,
terlalu... ah sudahlah.
Pernah juga aku berkata ‘entah kenapa,
kalau marah kakak pasti nyebutnya aku kamu’ bingung juga, kenapa seperti itu,
aku tak tahu.
Tapi itu hanya tinggal kenangan.
Dag ! Dig ! Dug !
Aku semakin cemas dengan dadaku,
terlalu keras berdetak. Apa tidak akan pecah jantungku ?
Dag ! Dig ! Dug !
Semakin menjadi, sudah sudah,
hentikan.
Dag ! Dig ! Dug !
Semakin keras saja, tak terhentikan.
Jantungku berdegup kencang, tubuh bergetar hebat, akankah aku ulangi merusak
harinya. Oh Tuhan, untuk kali ini, tolong lancarkah hariku bersamanya, jangan biarkan
aku merusak harinya, aku tak mau mengulangnya lagi.
Aku rasa kata-kataku seperti lirik
hari bersamanya laguya sheila on 7. Ya, itulah yang sedang kudengarkan. Aku
mendengar pak satpam menutar lagu itu, sepertinya dari TV.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.
Kenapa mira belum juga datang ? apa terjadi sesuatu dengannya ?.
Tunggu, aku tidak boleh berpikir
negatif lagi, mungkin dia masih di rumahnya. Pasti masih mandi, cewek memang lama kalau mandi. Pernah
aku menunggu temanku, 1 jam dia belum juga keluar. ‘Harus bersih banget’
katanya, tapi ada yang lebih parah dari itu. Aku menunggu sms dari temanku ‘aku
mandi dulu’ katanya, 2 jam kemudian dia baru selesai. Kau tahu apa yang dia
bilang ? ‘maaf ya ketiduran’ aku berpikir, dia kan sedang mandi apa bisa ketiduran
? aku tanya, ‘memangnya kau tidur di kamar mandi ?’ dan dia membalas ‘iya,
nyaman soalnya’. Konyol sekali, tidur di kamar mandi.
Tapi sudahlah, gadis yang kutunggu
dari tadi. Senyumnya mengarah padaku, berjalan dari gerbang sekolah, menuju ke
arahku. Kerudung ungu, baju biri lengan panjang, dan celana jeans biru. Itulah
kesukaanku, wana biru. Terihat cantik sekali, berkali-kali aku melihatnya
memakai baju itu beberapa bulan ini. Tapi beda rasanya jika dia berpakaian
seperti itu saat akan pergi bersamaku. Biru ? itulah warna kesukaanku, mungkin
kesukaannya juga, dan Mira, adalah orang yang kusuka, sehingga tak ada yang
tidak kusukai darinya.
“Maaf ya lama, bantu ibu dulu”
katanya setiba di depanku
Aku berdiri, aku masih terdiam
memperhatikan siapa yang berada di depanku ini
“Iya Mi tidak apa apa” balasku, juga
senyuman yang kubalas
Terdengar kumandang adzan dari
berbagai mesjid. Bahkan disekolahku juga.
“Sholat aja dulu” kataku
“Yaudah, sholat aja dulu yu ?”
ajaknya
Sial ! senyumannya sungguh membuatku
tak bisa bergerak, tak ada kata yang mau keluar, padahal ingin sekali aku
membalasnya.
Kita berpisah di persimpangan jalan
menuju mesjid. Tempat akhwat-wanita- dan ikhwan-laki-laki-terpisah.
***
Cuaca masih cerah, kuharap akan
terus seperti ini. Hatiku juga sedang enak, senang, kulihat Mira datang
menghampiriku.
“Sekarang ?” katanya “Kemana ?”
lanjutnya
“Eeeeh.... gatau” kataku agak gugup
sembari menggaruk-garuk rambutku
“Ih ! kirain udah direncanain”
katanya, mungkin dia kesal, tapi dia tetap tersenyum
Oh, indahnya hari ini.
“Ke taman ? musik ?” kataku
“Taman musik ?” katanya “oke”
Tanpa pikir panjang, aku berikan
helm pinjaman padanya. Warnanya biru, kunyalakan motorku. Asal kau tahu,
sekarang aku sedang memakai kemeja kotak-kotak berwarna putih abu dan biru,
celana jeans biru panjang. Motorku warnanya biru, helmku juga biru. Serba biru
sekarang, tapi tidak dengan hatiku. Terimakasih bagi kalian yang telah
mendoakanku.
Kupacu kendaraanku ke arah Bandung,
sambil kuajak Mira ngobrol, tertawa, dan hal lain. Aku tak berani menjalankan
motor kencang jika bersamanya, aku takut dia jatuh. Pegangan ? aku tak berani
memintanya, aku tahu dia tak mungkin mau. Bukannya apa-apa, tapi dia selalu
menjaga kesuciannya, tak mungkin dia berpegangan padaku meskipun hanya pada
jaket saja kurasa tak mungkin.
***
1 jam berlalu,
kita sudah sampai di taman musik.
Agak ramai ternyata, tapi ada tempat
untuk mengobrol berdua, agak jauh dari orang-orang. Kupersilahkan duduk setelah
kubersihkan tempat duduknya, dia tersenyum ‘terimakasih’ katanya.
Kutawarkan minum, ‘teh botol aja’
katanya. Cepat-cepat aku membelinya, untung saja tak jauh dari tempat duduk
kita. Kubeli 2, karena aku juga suka dengan teh manis.
“Manis ga tehnya ?” kubuka
pembicaraan
“Iya, tapi kakak suka ga ?” katanya
“Agak gaterlalu sih, sukanya bikinan
rumahan aja”
“Oh, yaudah kapan-kapan Mira buatin”
Deg !
Aku tak percaya dia akan berkata
seperti itu, kaget, senang, ah ....
Dia tersenyum padaku, begitu juga
aku membalasnya dengan senyuman setulus hati.
“Terakhir kali kesini, masih
dibangun” kataku setelah beberapa menit hening
Kulihat air minumnya, dia meminumnya
sedikit demi sedikit. Kurasa sengaja agar punya waktu lama denganku, mungkin
itu juga.
Masih saja berdetak kencang
jantungku.
“Oh, sama siapa kesini ?” tanyanya
“Sama temen-temen” kataku “waktu ada
LKBB disana”
Aku menunjuk ke arah kanan, ada
lapangan yang cukup untuk LKBB.
“Oh” dia mengangguk, meminum kembali
teh botolnya, sedikit
“Kakak suka jazz, Mira ?” tanyaku
“Pop, R&B” katanya “tapi lebih
suka K-POP”
“Kakak gasuka K-POP” kataku
“Kenapa ?” tanya dia
“Gasuka aja, liat cowok,
dandannannya kaya cewek” kataku “meliuk-liuk, gak enak aja ngeliatnya”
Dia tersenyum
“Mira suka lagunya” katanya
“Kalau lagunya sih, gak masalah” kataku
“Iya, tapi...” dia mengerutkan
dahinya “Mira suka penyanyinya juga” dia tersenyum kearahku, kemudian meminum
lagi teh botolnya
“Yasudah, kalau gak sama-sama suka
gak usah di omongin” kataku
“Iya.” Katanya
Kemudian hening, dadaku berdetak
kencang. Masih saja kencang. Baru kali ini-lagi-aku mengobrol dengan mira
setelah berbulan-bulan lamanya.
“Kak” katanya
“Emh...” aku menoleh ke arahnya
sambil meminum teh botol
“Apa aja yang kakak tahu tentang
Mira ?” katanya
Deg !
‘uhuk..uhuukk’
Sial ! aku tersedak, sakit
tenggorokanku.
“Pelan-pelang kak minumnya” katanya
agak sedikit tertawa
“Iya iya” kataku
Kemudian hening lagi. Aku tak tahu
harus jawab apa, aku tak banyak tahu tentang dia. Hanya sedikit.
“Tak banyak” jawabku
Aku memberitahukan hal-hal yang
kutahu tentang dia, tentang siapa orang tuanya, pekerjaan orang tuanya, keadaan
keluarganya. Bahkan kuberanikan diri untuk mengatakan kalau aku tahu siapa saja
yang suka sama Mira.
“Oh ya ?” tanyanya “siapa aja ?”
Aku beritahu semuanya, dan kuberanikan
diri juga menyebutkan siapa saja orang suka mengobrol dengannya sewaktu akan
pulang di depan taman. Orang yang mengantarnya kesekolah, orang yang
menjemputnya pulang, orang yang sering dia sms, dan hal lain yang ku ketahui.
Sakit sih saat aku menyebutkan semua
itu. Cemburu kurasa, tapi wajarkan jika aku seperti itu ?
“Tau semuanya” katanya
“Ngga semuanya” kataku
Kemudian hening lagi.
Aku meminum kembali teh botolku,
begitu juga dengannya. 5 menit hening. Suasana dingin, meskipun banyak kendaraan
lalu-lalang, banyak orang disini, suara pantulan bola basket, suara pengamen
yang mendendangkan lagu ‘kisah cintaku’ semua terasa dingin, sungguh tak enak
ada di posisi ini, serba salah kurasa.
“Jadi maksud kakak minta Mira jalan
sama kakak ?” tanyanya
Agak kaget juga, aku tengah tak
sadarka diri tadi. Terlalu terbawa suasana.
“...... emmmh....” kataku gugup,
sambil menggaruk kepala
“Apa ?” katanya
“Bisakah kita seperti dulu ?”
tanyaku memberanikan diri
Dia menunduk, entah apa yang
dipikirkannya. Kejadian waktu dulu ? atau apa ? kuharap bukan kejadian waktu
dulu.
“Mira... mira gatau kak” katanya
dengan nada rendah, lesu, masih menunduk
Aku terdiam, menunduk, entah apa
lagi yang harus kukatakan.
Kurasa, memang tak ada harapan lagi
untukku bersamanya. Tak ada lagi waktu untukku bersamanya, tak ada lagi yang
tersisa. Semua kesenangan kian pudar, awan-awan kurasa mulai berkumpul di atas
kepalaku. Semakin mendung, seperti suasana hatiku sekarang.
“Semua yang Mira lakukan ada
alasannya kak” katanya sambil melihat kearahku
“Itu yang Mira pelajari dari kakak”
katanya lagi “Mira tahu maksud kakak, mira sadar, tapi mira....” katanya, lalu
menunduk
Dia tampak sedih, aku benci itu,
tidak, aku benci diriku yang telah membuatya seperti itu.
“Ya, kurasa, terlalu dini untuk
mengucap cinta. Terlalu dini untuk mengumbar sayang. Mungkin, memang tak ada
harapan. Tak ada kepastian, tak ada harapan yang pasti, dan tak pasti ada
harapan untukku” kataku “mungkin untuk kita” aku menatap lurus kedepan, aku tak
mau melihat kesedihannya
“Kakak jangan marah” katanya dengan
nada memelas dia melihatku sepertinya
“Kakak tidak marah, hanya, sedang
menerima semua kenyataan” kataku dengan tatapan masih lurus kedepan
Kulihat dia, termenung, tunduk, tak
ada suara keluar dari mulutnya, tak ada bahasa yang keluar dari tubuhnya. Yang
kurasakan saat itu, hanya, dia sedang
sedih-atau mungkin hanya perasaanku saja-dengan semua ini.
Hening.
***
1 jam terdiam, minumannya
sudah habis, dia menghabiskannya 3 menit yang lalu. Aku lapar.
“Mi, makan yuk ?” kataku setelah
sekian lama terdiam “udah itu pulang”
Dia mengangguk.
Kunyalakan mesin motor, kupacu
menuju tempat makan kesukaannya.
Dijalan, aku serasa tak bersamanya.
Serasa sendiri, sekelilingku tak ada siapapun juga rasanya. Aku bingung,
bimbang, kacau, entah apalagi yang harus kulakukan untuknya.
Kita berhenti di sebuah tempat makan
dekat taman musik, tempat makan kesukaannya, aku sangat ingat tentang makanan
kesukaannya ini.
Dia turun dari motor ketika sampai,
dia masih tertunduk. Entah apa yang dia pikirkan, semoga saja bukanlah hal yang
buruk.
Kupesan 2 porsi, kita duduk
berhadapan.
Aku ingin sekali berkata ‘udah
jangan murung’ tapi tak ada sisa keberanian di dalam diriku, semua sudah habis
termakan kebingungan.
Pesanan datang, kita masih saja
terdiam, dia makan seperti tak bernafsu. Begitu juga denganku.
Seperempat porsi kuhabiskan, dia
baru 2 suapan. Setengah porsi kulahap, dia baru melahap 5 suapan.
“Udah Mi, jangan murung” kataku
Terlontar saja, aku sudah muak
dengan keadaan itu. Aku tak mau melihatnya terus-terusan seperti itu.
“Iya kak maaf, Mira hanya malu saja”
katanya sambil masih tertunduk
“Malu kenapa ?” tanyaku
“Malu, kakak udah baik sama Mira,
tapi Mira kaya gini. Mira jahat ya” katanya
“Ngga kok, Mira orang yang baik.
Bukankah Mira mengikuti kakak ?” kataku
Dia tersenyum, kurasa itu hanya fake
smile karena, 1 detik kemudian dia murung kembali.
Aku bingung bagaimana harus
membuatnya terhibur. Ada ide ? ayolah berikan aku ide.
Makanan kita sudah habis, begitu
juga dengan minumnya.
“Pulang ?” tanyaku
Dia mengangguk
Bingung masih melanda, aku tak tahu
harus apalagi. Aku semakin bingun ketika jalannya semakin melambat. Aku kira
dia benar-benar merasa tidak enak terhadapku.
Aku memang tidak enak, aku seperti
ditolak 2 kali, aku sungguh sakit hati, tapi aku tak terlalu memikirkan itu.
Pikiranku sekarang hanya Mira, sesakit apa aku sekarang, aku tak peduli, aku
hanya ingin tahu bagaimana menghibur Mira sekarang, aku berpikir keras.
***
Diperjalanan
berbeda. Tadi siang, aku berangkat bersama Mira, tawa menyelimuti kita. Tapi
sekarang, awan hitam menyelimuti kita. Gelap, tak ada cahaya, tak ada
kesenangan.
Ingin sekali aku membuka percakapan,
tapi apa ? aku tak tahu, aku bingung.
Kupacu kendaraan dengan perlahan,
aku tak mau membuatnya takut dengan memacu cepat kendaraanku.
Tuhan, kukira aku tak akan merusak
harinya lagi. Tapi kenapa ? kenapa harus kuulangi merusak harinya ? apa aku
salah ? apa aku memang seharusnya tak bersamanya ?. Kurasa, jawabannya, iya.
Sungguh sedih aku memikirkan itu, aku harus meninggalkannya ? tak mengusiknya
lagi ?. Ya.. itu adalah janjiku. Aku sudah bilang pada Glen ‘jika kali ini
tidak berhasil, aku tak akan mengganggunya lagi’ waktu itu di depan ruangan 3.
Ah sudahlah, pikirkan lagi bagaimana
caranya menghibur Mira. Kubelikan es krim ? coklat ? atau apa ? apa saja pasti
akan kubelikan.
Tapi hanya khayal yang kudapat, tak
ada ide keluar dari otakku. Ayolah, apa yang harus kulakukan ? menghiburnya
dengan cara apa ?.
Apa aku harus seperti boyband korea
itu ? apa harus aku seperti itu ? aku memang ingin membuat Mira suka
terhadapku, tapi tidak dengan seperti itu, aku tak sudi jika harus seperti
mereka.
Lantas, apa yang harus aku lakukan ?
Mira, kau kenapa ? apa aku salah ? salah apa aku ?.
***
Tak terasa, aku
sudah berada di depan gang rumahnya, Mira menunjukkan jalannya karena aku tak
tahu rumah Mira.
“Disini aja kak” pintanya, nadanya
masih lemas
Aku berhenti didepan gang agak
sempit, sepi disini, tak ada orang. Kulihat jam, ‘sudah jam 5’ aku merasa tidak
enak pada Mira.
“Makasih ya Mi, udah memberikan
kesempatan untuk ngobrol” kataku ketika dia turun dari motorku
“Iya, maafin Mira ya kak. Mira sudah
berbuat jahat” katanya
Aku tak merasakan Mira itu jahat,
tidak. Dia itu sangat baik, sangat baik.
Mira berbalik, berjalan masuk ke
gang.
“Mira” kataku
Aku lupa, aku ingin memberikan
sebuah hadiah. Novel.
“Iya kak ?” dia berbalik
Aku membuka tas dan kubawa kado itu.
“Ini untuk Mira” aku sodorkan kado
itu padanya
Dia berjalan mendekatiku
“Selamat ulang tahun ya. Maaf telat”
kataku sembari keberikan senyuman terbaikku. Aku memang telat memberikannya
kado ulang tahun, ulang tahunnya 5-6 bulan yang lalu.
“Makasih kak” dia tersenyum,
ikhlaskah senyumannya ?
Dia berlalu pergi, memasuki gang,
dan berbolek ke kanan., dan tak kulihat lagi dia.
Salahkah caraku ? salahkah tujuanku
? salahkah diriku yang ingin kembali bersama degan Mira ?. Aku terlalu naif,
aku selalu memikirkan aku pasti bisa bersamanya lagi, tapi nihil yang ada.
Aku harus mencoba menerima kenyataan
ini. Kenyataan bahwa, aku tak mungkin bisa dengannya lagi. Bukan pacaran
maksudku, tapi bisa berhubungan baik dengannya. Aku tak mau seperti ini,
beberapa bulan ini aku merasa jauh darinya, merasa dia sudah tidak mengenalku
lagi.
Tapi, apa daya. Mungkin ini yang
harus terjadi, ini sudah di atur oleh Tuhan. Aku harus ikhlas, aku harus
menerima kenyataan ini. Aku tahu, selama ini dia pasti bahagia, tanpa aku,
bersama dengan orang-orang disekitarnya. Ya, bukan aku yang membuatnya bahagia,
tapi orang-orang disekitarnya, orang yang selalu mengirim sms padanya, orang
yang selalu perhatian padanya.
Aku benar-benar kalah, sungguh hari
ini hari yang berharga, sekaligus hari yang sangat membuatku sedih. Kukira biru
ini akan membuatku beruntung, tapi nyatanya hatikupun menjadi biru.
Aku memacu pelan motorku, berpikir
‘bodoh kau nao, bodoh kah’ aku menyalahkan diriku, memaki diriku, menghina
diriku.
Sungguh kesal, kesal terhadap
kenyataan ini, kesal terhadap diriku sendiri. Sakit rasanya, rasanya ingin
kupacu kencang motorku, bagus jika aku mati hari ini, sehingga rasanya tak akan
ada lagi.
Plak !
Kupukul helmku. Sadar kau ! sadar
bajingan !
Aku lebih memaki diriku ‘sadarlah,
dia pasti tak ingin itu terjadi, dia pasti ingin kau bahagia juga tanpanya’
pikirku, kupelankan motorku. Kurasakan air mata keluar dari mataku, menangis ?
ya, kurasa aku menangis. Sakit rasanya berada dalam
posisi ini, ‘sudahlah, terima kenyataan ini’ pikirku. Terus saja aku mencoba
memaki, menyadarkan diriku. Aku harus menerima kenyataan ini.
Ya, aku harus menerima semuanya.
Kuusap air mataku dengan telunjukku.
‘Tenang saja Nao, semua cintamu
sudah kau curahkan dalam buku yang kau berikan padanya’ pikirku lagi. Ya, aku
sudah melepas cintaku, aku harus merelakannya bersama orang lain.
Aku coba tersenyum, membayangkan
kebahagiaan Mira. ‘Kau akan mengetahui kau sangat mencintainya, ketika kau
melepaskannya’ kupelajari itu, kurasakan memang benar seperti itulah. Kubiarkan
dia pergi, aku mundur dari kehidupannya, kuharap kau bahagia Mira.
‘Sudah, bersabarlah. Berarti,
rencanamu mengirim surat untuknya ? jadi ?” oh ya, surat itu harus tetap
terkirim.